Langit dalam Sepi

Aku masih ingat sedang bermain kala itu. Saat kulihat sekilas sepasang mata memandangku dan aku tak peduli. Aku berjalan dengan perkembanganku dan tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Langit masih sama namun kini aku sudah remaja. Romansa cinta mulai terasa dan menjangkit teman-teman sekelasku. Bagaimana denganku? Entahlah. Aku merasa belum ada yang tepat untukku atau aku yang kurang tepat bagi para wanita? Entahlah, siapa peduli? Kali ini aku pulang dengan kelelahan. Keringat mengucur di seluruh tubuhku. Bajuku basah. Kubuka pintu dengan tergesa berjalan menuju lemari es di dapur dan meminumnya menghadap kipas angin di ruang tengah.

          “Ah, segarnya”, aku mengusap mulutku dengan punggung tangan.
          “Cepat ganti baju. Bau keringatnya sampai sini ram”, ibuku lewat sambil membawa toples-toples kue.

Aku berjalan menuju ruang makan. Perut sudah memanggil. Ibu membuka toples dan menghitung jumlah kue di dalam toples. Beliau melihatku dan menatapku lama. Ya, aku tau. Aku belum ganti baju. Tapi ya sudahlah, biarkan saja, yang penting aku kenyang. Ibu sepertinya masih menatapku. Firasatku mengatakan aku sedang diawasi. Oh, ayolah. Ini cuma soal makan, batinku sambil melihat ke arah ibu. Dan kalian tau? Ternyata ibu khusyuk dengan kue-kuenya. Aku kembali makan, namun firasatku kembali muncul. Aku melirik ibu dengan pelan, tapi memang dia tidak mengawasiku. Melirik pun tidak. Biasanya firasatku selalu benar dan aku mulai celingak-celinguk melihat sekeliling. Tapi memang tidak ada orang lain disini sepertinya. Ah, sudahlah. Mungkin firasatku memang salah kali ini, mending aku lanjut makan saja.


*********


Aku duduk dalam diam. Tak terasa UAN SMA sebentar lagi datang. Kupandang langit dengan awan yang bergerak beriringan sambil menyesap rokok dan menghembuskan perlahan. Yah, semoga aku bisa lulus agar tak menyusahkan mereka. Tapi, apa aku bisa? Otakku mulai penuh dengan rasa frustasi. Argh, kenapa dulu aku tak pernah memperhatikan pelajaran? Mana mereka juga gak punya duit buat ikutan bimbel. Kepalaku terasa mau pecah. Kuhisap rokokku dalam-dalam. Kenapa ini jadi terasa begitu sulit? Kugebrak meja disampingku dengan kesal. Kepalaku reflek melihat ke arah samping gedung. Apa ada guru ya? Aku merasa diperhatikan barusan. Aku lari secepat kilat sambil membuang puntung rokok di got.


*********


Aku tersenyum menatap langit malam. Ah, indahnya bintang menemani gelap yang kesepian dengan bulan mengawasi dari kejauhan. Bias cahaya matahari masih menyinari bumi saat malam melalui bulan. Bukankah itu hebat? Mungkin aku bisa membuat karya sastra hanya dengan menatap langit. Aku terkekeh sendiri.


          “Woy, ramli. Ayo sini gabung”, teriak gugun sambil mengacungkan botol.

Senyumku melebar sambil berjalan menuju api unggun bergabung bersama kawan-kawanku yang lain. Malam terasa panjang dan ringan dengan nyanyian malam. Kami bercerita dan saling menghina satu sama lain. Tertawa dan mengoceh sepanjang malam.


           PRAAANNGG
          “Siapa disana?”, teriakku dengan nafas terengah sehabis melempar botol.
          “Ada apaan sih ram?”, kawan-kawanku menoleh.
          “Tadi aku ngerasa ada yang merhatiin kita dari balik pohon”

Suasana sunyi sejenak dengan semua tatapan mengarah ke arah yang sama. Namun tak ada yang terjadi. Hanya suara angin malam terdengar berbisik dalam diam.

          “Mungkin cuma binatang ram. Gak ada yang kemah dekat sini kayaknya”, Isal menepuk pundakku.

Keramaian berlanjut kembali ditambah suara bising dari suara-suara kami yang fals bernyanyi. Tak lama, aku masuk ke dalam tenda. Mencoba tidur dan menenangkan pikiran. Aku yakin sekali kalau tadi bukan binatang. Tapi apa? Kumiringkan badanku ke kanan sambil mencoba memejamkan mata. Kantuk segera menyerang. Dalam sayup mataku terpejam kulihat sekelebat bayangan dari arah hutan di luar tenda. Ah, mungkin ada yang kebelet.


*********


Pagi yang indah dengan langit yang berubah warna cerah. Kami berkemas melanjutkan perjalanan. Nikmatnya pagi dengan udara segar menggelitik hidung membuat dada lapang. Jalan mulai mendaki dengan nafas terengah. Kali ini aku merasa janggal. Aku merasa ada yang mengikuti kami dari belakang. Berkali-kali aku menoleh ke belakang, namun hanya pohon-pohon yang terlihat dengan daun yang bergerak tertiup angin. Aku mulai gelisah dan merasa tak nyaman.
           
       “Kenapa ram? Tegang amat wajahnya. Pengen boker?”, Gugun terkekeh geli dengan tawanya yang khas disambut tawa ricuh dari yang lain.
        “Hahaha. Nggak. Nggak papa. Aku cuma ngerasa ada yang ngikutin kita dari tadi”
        “Iya? Apa ada peri hutan cantik yang ngikutin kita?”, Isal mulai ngaco dan mengkhayal.

Teriakan menghina mulai menyerbu Isal mengiringi kelanjutan perjalanan kami. Hari sudah memasuki siang. Kami beristirahat sejenak melepas lelah. Warna hijau dan biru menghasilkan ketenangan tersendiri bagi kami. Bersihnya langit mendalam seolah jauh tak terbatas, tak terbendung menghadirkan awan yang dihembus angin. Ah, betapa nikmatnya hidup dihiasi suara-suara kecil burung dan hewan dari kejauhan diiringi suara angin mendesah ringan. Mungkin ini namanya kedamaian. Jika ini dunia, maka bagaimana dengan surga? Daya imajinasiku terbatas tak dapat membayangkannya. Mataku terbuka dan tatapanku terhenti. Ya, disitu. Aku melihatnya. Sepasang mata itu. Aku ingat betul sekarang. Mata itu mata yang sama saat aku bermain dulu. Mata yang tak kupedulikan. Mengapa sekarang dia ada disini? Apa kami tak sengaja bertemu kembali? Apa dia menguntitku dan mengawasiku? Apa dia selalu ada melihatku? Mengapa? Untuk apa? Aku harus tau jawabannya. Aku harus tau. Aku harus menghampirinya sekarang sebelum dia pergi dan menghilang. Harus.


*********


Oh, tidak. Dia mengetahuinya. Ramli melihatku sekarang dengan jelas. Aku tertangkap basah. Dia berjalan kemari. Dia sekarang berlari ke arahku. Aku tak dapat sembunyi kembali di balik pohon ini.

        “Ramli, awaaaaaasss !!!!”, teriakan Isal membahana dalam diamnya alam dan ketenangan siang.


********


Terik matahari menyilaukan saat ku buka pandanganku. Ku dengar sayup-sayup teriakan Isal tadi. Apa yang terjadi? Kualihkan pandanganku ke arah lain. Ah, aku terjatuh ke dalam jurang ternyata. Bayangan gelap datang tiba-tiba.

        “Kau? Kau siapa?”
        “Akhirnya kamu dapat melihatku dengan jelas sekarang ramli”, suaranya berat mendebarkan jantungku.
        “Mau apa kamu? Mau apa kamu sekarang?”, aku berteriak panik menyadari besar dan gelap tubuhnya menghampiri.
       “Sudah lama aku mengawasimu dan waktumu telah habis”, sepasang mata itu menghantam ulu hatiku, menakutkan.


*********


Dalam tenang dan damainya langit
Dalam pertanyaan yang selalu menghantui waktumu
Hidup dan kehidupan

Untuk apa hidup? Dan untuk apa aku hidup?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mandau

Alhamdulillah yaa

Penyakit Kesedihan (Sena/4)