Refleksi Hari Kemarin
Beberapa hari yang lalu, kami sekeluarga mendapat kesempatan membuat nasi bungkus untuk dibagikan dalam rangka 'buka puasa on the road.' Kami bikin di dua hari berbeda. Hari pertama bikin nasi dengan lauk ayam merah, tahu, dan tumis buncis. Hari kedua bikin nasi pecel dengan lauk telur goreng.
Jujur. Ini pertama kalinya saya bikin nasi bungkus dalam jumlah banyak. Targetnya 100 bungkus/hari. Dengan tenaga kerja cuma ibu dan saya, ditambah bapak yang bantuin ngebungkus di akhir. Tentu saja, dengan tenaga kerja seperti saya yang masih amatir dan bapak yang cuma bisa bantu sebentar, ibu saya kewalahan. Target pun tidak tercapai. Hanya sekitar 80an bungkus di hari pertama dan 70an bungkus di hari kedua.
Memang benar pernyataan yang saya dengar sambil lalu saat melewati selasar Fisipol. Pengisi diskusi saat itu bilang, kalau orang miskin itu tetap miskin sepanjang hidupnya bukan karena malas, tapi karena sistem yang ada, alias kemiskinan struktural. Dia bilang, kurang rajin apa pedagang-pedagang di pasar, bangun sebelum subuh buat jualan tiap hari, capek didapat, tapi tetap miskin dari dulu sampe sekarang. Waktu itu saya cuma bisa manggut-manggut mengamini. Sekarang, saya merasakan dan benar-benar meresapi betapa rajinnya para penjual di luar sana. ðŸ˜
Capek dan kewalahan, itu yang saya rasakan. Padahal sudah belanja ke pasar habis subuh, masak sekitar jam 10, ngebungkus nasi sekitar jam setengah 3, dan jam 5 sudah diambil. Kerja terus cuma jeda ke kamar mandi dan sholat. Itu pun belum bisa mencapai target 100. Padahal, beli bumbunya yang sudah racikan dan menu masaknya juga yang gampang-gampang.
Waktu goreng telur tuh, apalagi. Saya goreng satu-satu pakai satu pan kecil sambil berdiri di dapur. Baru pada saat itu, saya terpikir, begini rasanya jadi penjual pentol goreng. 😠Satu-satu ngebalikin pentol gorengnya, berdiri lama, kepanasan jualan di depan sekolah, belum lagi berisiknya anak-anak sd yang minta cepet-cepet keburu bel, pergi-pulangnya pun masih ngayuh sepeda. Ya Allah, aku ngerasa durhaka, dulu waktu kecil suka ngece pale'-pale' jualan* karena gondes. ðŸ˜
Semakin dewasa, semakin saya menyadari, bahwa semua pekerjaan itu sama saja selama halal. Sama-sama capeknya dan sama-sama istimewanya. Sama-sama patut dihargai dan sama-sama patut disyukuri.
*pale' berasal dari kata paklek.
Di Kalimantan, rata-rata pedagang keliling merupakan orang Jawa, sehingga dipanggil paklek. Namun, karena logat yang berbeda, warga sekitar biasa menyebut dengan pale'.
Jujur. Ini pertama kalinya saya bikin nasi bungkus dalam jumlah banyak. Targetnya 100 bungkus/hari. Dengan tenaga kerja cuma ibu dan saya, ditambah bapak yang bantuin ngebungkus di akhir. Tentu saja, dengan tenaga kerja seperti saya yang masih amatir dan bapak yang cuma bisa bantu sebentar, ibu saya kewalahan. Target pun tidak tercapai. Hanya sekitar 80an bungkus di hari pertama dan 70an bungkus di hari kedua.
Memang benar pernyataan yang saya dengar sambil lalu saat melewati selasar Fisipol. Pengisi diskusi saat itu bilang, kalau orang miskin itu tetap miskin sepanjang hidupnya bukan karena malas, tapi karena sistem yang ada, alias kemiskinan struktural. Dia bilang, kurang rajin apa pedagang-pedagang di pasar, bangun sebelum subuh buat jualan tiap hari, capek didapat, tapi tetap miskin dari dulu sampe sekarang. Waktu itu saya cuma bisa manggut-manggut mengamini. Sekarang, saya merasakan dan benar-benar meresapi betapa rajinnya para penjual di luar sana. ðŸ˜
Capek dan kewalahan, itu yang saya rasakan. Padahal sudah belanja ke pasar habis subuh, masak sekitar jam 10, ngebungkus nasi sekitar jam setengah 3, dan jam 5 sudah diambil. Kerja terus cuma jeda ke kamar mandi dan sholat. Itu pun belum bisa mencapai target 100. Padahal, beli bumbunya yang sudah racikan dan menu masaknya juga yang gampang-gampang.
Waktu goreng telur tuh, apalagi. Saya goreng satu-satu pakai satu pan kecil sambil berdiri di dapur. Baru pada saat itu, saya terpikir, begini rasanya jadi penjual pentol goreng. 😠Satu-satu ngebalikin pentol gorengnya, berdiri lama, kepanasan jualan di depan sekolah, belum lagi berisiknya anak-anak sd yang minta cepet-cepet keburu bel, pergi-pulangnya pun masih ngayuh sepeda. Ya Allah, aku ngerasa durhaka, dulu waktu kecil suka ngece pale'-pale' jualan* karena gondes. ðŸ˜
Semakin dewasa, semakin saya menyadari, bahwa semua pekerjaan itu sama saja selama halal. Sama-sama capeknya dan sama-sama istimewanya. Sama-sama patut dihargai dan sama-sama patut disyukuri.
*pale' berasal dari kata paklek.
Di Kalimantan, rata-rata pedagang keliling merupakan orang Jawa, sehingga dipanggil paklek. Namun, karena logat yang berbeda, warga sekitar biasa menyebut dengan pale'.
Komentar
Posting Komentar