Dalam Dada Terselip Hati
Salah satu hal yang tak bisa kau gunakan logika adalah hati, kawan . .
Bukan organ hati yang kumaksud disini, melainkan adalah hati yang satunya, hati nurani.
Tak dapat kau buktikan dengan kasat mata, posisi hati itu ada di bagian tubuh sebelah mana. Tidak di luar dan tidak pula di dalam tubuh.
Tak ada organ yang namanya hati nurani, tapi sebagaimana kita ketahui bahwa dia ada.
Dia akan terasa menyesakkan ketika sedih menghujam. Sakit dan sesak sekaligus juga mungkin pernah kau rasakan. Aku pun pernah mengalaminya, dan itu terasa dari dalam dada. Tepatnya di tengah. Itu berasal dari dalam bagian tengah dadaku. Sesak menghimpit seolah ingin menyeruak keluar.
Hati tak hanya terasa saat sedih rupanya. Dia juga terasa saat perasaan sebal menghampiri, iri dicampur dengan kemarahan menghasilkan dengki, dan seketika menjadi benci.
Itu juga terasa di tempat yang sama sebagaimana sedih yang pernah singgah.
Kawan, tahukah kau?
Kata ibuku, itulah yang disebut penyakit hati. Bak peribahasa "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." Jahatnya perasaan buruk itu akan menodai hatimu dengan tetesannya setitik demi setitik. Hingga titik-titik itu berkerumun, mengeroyok hati nuranimu dan menguasai hatimu sepenuhnya.
Kawan, pernahkah kau berpikir bahwa hati nurani itu aneh?
Bagaimana mungkin dia tidak ada tapi ada?
Bagaimana mungkin dia terasa tapi tak berwujud?
Dalam setiap inchi modernisasi yang terus tumbuh.
Dalam setiap detik kemajuan yang terus berkembang.
Tidakkah kau berpikir bahwa ini adalah kekuasaan?
Kuasa yang sungguh luar biasa hebatnya, mengalahkan dengan mudah segala modernisasi yang diciptakan tangan manusia.
Dan kuasa soal hati ini tersebar, terhampar pada seluruh umat manusia di setiap masa.
Sudah timbul sejak manusia pertama dan terus bertahan hadir dalam beribu jasad manusia yang lahir bersama waktu.
Bisa jadi, jarang sekali terpikir hal ini dalam sempitnya pemikiran yang hanya memikirkan nikmat ciptaan, tanpa bertanya darimana kenikmatan itu datang. Bahwa hakekatnya, ada Yang Kuasa atas segala kekuasaan, ada Sang Pencipta atas segala ciptaan-Nya.
Sungguh kebodohan nyata bagiku, yang hanya dapat melihat setitik isyarat kecil dari Sang Arsitek Kehidupan atas lautan isyarat yang terhampar melingkupi, dan menyelubungi alam semesta.
Sungguh, hatiku yang pernah berlumpur, hati yang masih bisa bicara ini membisikkan kata terima kasih dalam rasa syukurnya. Atas segala ijinmu yang membiarkan rasa bahagia pernah tumpah dalam cawan hati. Terima kasih.
*Terinspirasi setelah membaca karya Tere Liye, "Ayahku (Bukan) Pembohong."
Bukan organ hati yang kumaksud disini, melainkan adalah hati yang satunya, hati nurani.
Tak dapat kau buktikan dengan kasat mata, posisi hati itu ada di bagian tubuh sebelah mana. Tidak di luar dan tidak pula di dalam tubuh.
Tak ada organ yang namanya hati nurani, tapi sebagaimana kita ketahui bahwa dia ada.
Dia akan terasa menyesakkan ketika sedih menghujam. Sakit dan sesak sekaligus juga mungkin pernah kau rasakan. Aku pun pernah mengalaminya, dan itu terasa dari dalam dada. Tepatnya di tengah. Itu berasal dari dalam bagian tengah dadaku. Sesak menghimpit seolah ingin menyeruak keluar.
Hati tak hanya terasa saat sedih rupanya. Dia juga terasa saat perasaan sebal menghampiri, iri dicampur dengan kemarahan menghasilkan dengki, dan seketika menjadi benci.
Itu juga terasa di tempat yang sama sebagaimana sedih yang pernah singgah.
Kawan, tahukah kau?
Kata ibuku, itulah yang disebut penyakit hati. Bak peribahasa "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga." Jahatnya perasaan buruk itu akan menodai hatimu dengan tetesannya setitik demi setitik. Hingga titik-titik itu berkerumun, mengeroyok hati nuranimu dan menguasai hatimu sepenuhnya.
Kawan, pernahkah kau berpikir bahwa hati nurani itu aneh?
Bagaimana mungkin dia tidak ada tapi ada?
Bagaimana mungkin dia terasa tapi tak berwujud?
Dalam setiap inchi modernisasi yang terus tumbuh.
Dalam setiap detik kemajuan yang terus berkembang.
Tidakkah kau berpikir bahwa ini adalah kekuasaan?
Kuasa yang sungguh luar biasa hebatnya, mengalahkan dengan mudah segala modernisasi yang diciptakan tangan manusia.
Dan kuasa soal hati ini tersebar, terhampar pada seluruh umat manusia di setiap masa.
Sudah timbul sejak manusia pertama dan terus bertahan hadir dalam beribu jasad manusia yang lahir bersama waktu.
Bisa jadi, jarang sekali terpikir hal ini dalam sempitnya pemikiran yang hanya memikirkan nikmat ciptaan, tanpa bertanya darimana kenikmatan itu datang. Bahwa hakekatnya, ada Yang Kuasa atas segala kekuasaan, ada Sang Pencipta atas segala ciptaan-Nya.
Sungguh kebodohan nyata bagiku, yang hanya dapat melihat setitik isyarat kecil dari Sang Arsitek Kehidupan atas lautan isyarat yang terhampar melingkupi, dan menyelubungi alam semesta.
Sungguh, hatiku yang pernah berlumpur, hati yang masih bisa bicara ini membisikkan kata terima kasih dalam rasa syukurnya. Atas segala ijinmu yang membiarkan rasa bahagia pernah tumpah dalam cawan hati. Terima kasih.
*Terinspirasi setelah membaca karya Tere Liye, "Ayahku (Bukan) Pembohong."
Komentar
Posting Komentar